Oleh: Agus Eka Setiabudi
Di
Kota-kota besar saat ini telah banyak yang memiliki Bus Rapid Transit atau
bahasa sehari-harinya lebih di kenal dengan BRT. Tidak hanya Jakarta, beberapa
kota di Indonesia juga ternyata sudah menerapkan sistem seperti Trans
Yogyakarta misalnya punya Trans Jogja. Seperti dikutip laman wikipedia, Trans
Jogja sebuah sistem transportasi bus cepat, murah dan ber-AC di seputar Kota
Yogyakarta.
Dan
saat ini di kota XXX juga memiliki Bus Rapid Transit. apakah memang tujuannya
untuk membuat nyaman penumpang atau mengurangi kemacatan ataupun hanya ingin
menjaga gengsi dengan kota-kota lain bahwa kota XXX telah memiliki BRT (cuma kepengen punya aja
pemerintahnya, biar kayak Jakarta. hehe) bahkan di kota XXX BRTnya
sendiri sudah sangat banyak, sampai-sampai BRTnya sendiri bisa di sewakan.
Pada
prosesnya, pengerjaan BRT tidaklah sulit, hanya dengan membangun tempat
transit/pemberhentian dan juga membangun jalur khusus Bus sendiri, namun yang
menjadi menu wajib dalam pengerjaan BRT ini adah pembangunan tempat
pemberhentian, karena kalau tidak ada tempat pemberhentian bukan BRT namanya
(sok tau).
Namun
di kota XXX sendiri, Saya sangat menyangkan dengan diadakannya BRT, padahal “angkutan
umum sebelumnya” masih sangat layak untuk dijalankan(sama-sama dingin, make AC),
kenyamanannyapun antara “angkutan umum sebelumnya” dengan BRT saya rasa, tidak
jauh berbeda, bahkan tempat duduknya lebih banyak dari BRT sekarang ini yang kata
teman Saya sepertinya mubazir, harga pun sama.
Menurut
hemat Saya hanya satu keuntungan dari BRT sendiri dengan angkutan sebelumnya,
yaitu trayek/jangkauan/perjalanannya lebih jauh. Tetapi Apakah angkutan
sebelumnya tidak bisa? Mengapa harus mengganti “angutan umum sebelumnya” padahal
“angkutan umum sebelumnya” trayeknya bisa dirubah seperti trayek BRT sekarang ini.
Apa
sih bedanya BRT dengan “angkutan sebelumnya”. Sekarang kalau kita lihat di Kota
XXX, penerapan BRT-nya hanya mengandalkan sebuah halte khusus. Sedangakan jalur
khusus tidak ada. Namun, jujur kalau melihatnya saya heran. Bedanya apa ya
dengan bus biasa? Tidak ada jalur khusus, tidak ada ketepatan waktu, tidak
cepat juga (karena bercampur dengan kendaraan lain), bahakan masih lebih cepat angkutan
lain seperti angkot yang ukurannya jauh lebih kecil.
Selain
itu, Saya juga sangat tidak setuju, haltenyapun mengambil jalur trotoar/pejalan
kaki, apakah jalur pejalan kaki tidak begitu penting? Saya yang masih aktif sebagai
pejalan kaki, sangat tidak setuju dengan konsep halte BRT yang seperti ini,
sampai-sampai membabat habis jalur trotoar.
Bahkan
Saya juga sempat di buat bingung dengan kenek BRTnya, pada tempat pemberhentian
di depan swalayan, kenek Bus 1 dan 2 saling rebutan penumpang apa bedanya
dengan angkutan umum biasanya, kalau antar kenek sampai rebutan penumpang? Di samping
itu juga seharsnya jarak antar bus dengan bus yang lainnya harus lah memiliki
jarak, (10-15 menit) tapi kenpa kok bias terjadi seperti kejadian diatas yang
pada ahirnya saling rebutan penumpang?
Kalau
boleh saya bilang penerapan BRT di kota XXX itu hanya merupakan “transportasi
perilaku”. Ya, transportasi ini hanya bermanfaat untuk mengubah perilaku
masyarakat Indonesia yang sukanya naik-turun di sembarang tempat. Dengan adanya
BRT, penumpang jadi “terpaksa” harus tertib naik-turun di halte-halte yang
telah ditentukan (bahkan lebih ekstrim lagi cuma kepengen punya aja pemerintahnya, biar kayak Jakarta)
Lah, kalau cuma kelebihannya itu, kenapa tidak memperbaiki sistem “angkutan
sebelumnya” saja?
Daripada membeli BRT yang banyak (sampai-sampai bisa di sewakan) dan
membangun halte pemberhentian yang masih belum jelas juga, kenapa dananya tidak
untuk memperbaiki/menambah “angkutan umum sebelumnya” dan memperbaiki jalan?
Oya
penjelasan ini hanya opini saya saja ya. Bukan merupakan penelitian ilmiah.
Jadi kalau ada kesalahan penjabaran konsep saya mohon maaf :)
0 komentar:
Posting Komentar